SYAM STORY - Pada awal pemerintahan Orde Baru, data yang dipakai pemerintah, termasuk data keluarga, terpencar di masing-masing departemen sesuai dengan kepentingannya. Sistem dan prosedurnya pun berbeda-beda antara satu departemen dan departemen lainnya sehingga sulit untuk digabungkan menjadi data nasional.
1. Kriteria Pengukuran Kemiskinan Menurut BKKBN
Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional secara khusus mencatat dan melakukan pemantauan keluarga di Indonesia dan hasilnya dikumpulkan dalam satu pangkalan data yang bersifat nasional. Sistem pendataan ini dilakukan secara konsisten dengan pelaporan bulanan dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) kepada BKKBN Pusat, antara lain, tentang data jumlah pengguna kontrasepsi. Pada 1985 BKKBN mengembangkan sistem pendataannya dan melakukan survei perencanaan keluarga nasional. Pada 1994 BKKBN menambah dua bagian dalam surveinya, yaitu ukuran kesejahteraan keluargadan karakteristik demografi keluarga. Bagian kesejahteraan
keluarga digunakan untuk penargetan keluarga miskin yang dibagi dalam lima kategori kesejahteraan, yaitu keluarga prasejahtera (Pra-KS), keluarga sejahtera 1 (KS1), keluarga sejahtera 2 (KS2), keluarga sejahtera 3 (KS3), dan keluarga sejahtera 3 plus (KS3 Plus).
Dalam penentuan kesejahteraan keluarga, BKKBN menggunakan 23 indikator, yaitu:
1. anggota keluarga belum melaksanakan ibadah menurut agamanya;
2. seluruh anggota keluarga tidak dapat makan minimal dua kali sehari;
3. seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja,
sekolah, dan bepergian;
4. bagian terluas dari lantai rumah adalah tanah;
5. bila anak sakit, tidak dibawa ke sarana kesehatan;
6. anggota keluarga tidak melaksanakan ibadah agamanya secara teratur;
7. keluarga tidak makan daging/ikan/telur minimal sekali seminggu;
8. setiap anggota keluarga tidak memperoleh satu stel pakaian baru dalam setahun;
9. tidak terpenuhinya luas lantai rumah minimal delapan meter persegi per penghuni;
10. ada anggota keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir;
11. tidak ada anggota keluarga berumur 15 tahun ke atas yang berpenghasilan tetap;
12. ada anggota keluarga berumur 10–60 tahun yang tidak bisa baca-tulis;
13. ada anak berumur 5–15 tahun yang tidak bersekolah;
14. jika keluarga telah memiliki dua anak atau lebih, tidak memakai kontrasepsi;
15. keluarga dapat meningkatkan pengetahuan agamanya;
16. sebagian penghasilan keluarga ditabung;
17. keluarga minimal dapat makan bersama sekali dalam sehari dan saling berkomunikasi;
18. keluarga ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat;
19. keluarga melakukan rekreasi di luar rumah minimal sekali sebulan;
20. keluarga dapat mengakses berita dari surat kabar, radio, televisi ataupun majalah;
21. anggota keluarga dapat menggunakan fasilitas transportasi lokal;
22. keluarga berkontribusi secara teratur dalam aktivitas sosial; dan
23. minimal satu anggota keluarga aktif dalam pengelolaan lembaga lokal.
Sebuah keluarga dikategorikan sebagai Pra-KS bila belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal atau belum bisa memenuhi indikator 1 hingga 5, KS1 bila memenuhi indikator 1 hingga 5, KS2 bila memenuhi indikator 1 hingga 14, KS3 bila memenuhi indikator 1 hingga 21, dan dikategorikan KS3 Plus bila memenuhi seluruh indikator 1 hingga 23.
Pendataan berdasarkan kriteria tersebut dilakukan secara berjenjang. Kader desa, pembantu pembina keluarga berencana desa (PKBD), dan sub-PPKBD mendata keluarga di tingkat desa. Kemudian penyuluh lapangan Keluarga Berencana (PLKB) membuat rekapitulasi hasil pendataan tersebut untuk dilaporkan ke tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan pengawas PLKB membuat rekapitulasi dari data desa-desa yang ada di wilayahnya, kemudian petugas di tingkat kabupaten/kota mengolah data yang diperoleh dari kecamatan-kecamatan.
Pada saat terjadi krisis ekonomi 1997/1998, BKKBN menggolongkan keluarga miskin menjadi Keluarga Prasejahtera Plus (KPS+), yakni keluarga yang memenuhi kriteria KPS ditambah lima kriteria lainnya, yaitu: (i) kepala keluarga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK); (ii) anak putus sekolah (iii) tidak mampu berobat bila sakit; (iv) tidak mampu makan dua kali sehari; dan (v) tidak mampu mengonsumsi lauk-pauk yang berprotein.
Data BKKBN ini telah digunakan baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta untuk penargetaan programnya seperti Program Takesra/Kukesra, dan GN-OTA. Bahkan pada saat krisis ekonomi 1997/1998, data BKKBN digunakan untuk penargetan program-program JPS, misalnya, Program Operasi Pasar Khusus Beras oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
2. Kriteria Pengukuran Kemiskinan Menurut BPS
2.1 Kriteria Pengukuran Kemiskinan Menurut BPS Pada PSE05
Badan Pusat Statistik pada 2005 melakukan pendataan untuk penargetan Program Bantuan Langsung Tunai dengan berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005. Sistem pendataan ini disebut Pendataan Sosial-Ekonomi Penduduk Tahun 2005, atau lebih dikenals sebagai PSE05. Tujuan PSE05 adalah memperoleh daftar nama dan alamat rumah tangga miskin, urutan rumah tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya di kabupaten/kota, dan klasifikasi rumah tangga miskin bila digolongkan menjadi sangat miskin, miskin, dan hampir miskin.
Pendataan dilakukan dalam unit wilayah Satuan Lingkungan Setempat (SLS) sebagai basis wilayah kerja. SLS terkecil di wilayah Indonesia pada umumnya adalah rukun tetangga (RT), atau banjar di Bali, jurong di Sumatra Barat, dan kampung atau dusun di wilayah yang belum menggunakan RT.
2.1.a Variabel Kemiskinan
Dalam menentukan rumah tangga miskin, BPS menggunakan 14 variabel untuk menentukan apakah suatu rumah tangga layak dikategorikan miskin. Keempat belas variabel tersebut adalah:
1. luas bangunan;
2. jenis lantai;
3. jenis dinding;
4. fasilitas buang air besar;
5. sumber air minum;
6. sumber penerangan;
7. jenis bahan bakar untuk memasak;
8. frekuensi membeli daging, ayam, dan susu dalam seminggu;
9. frekuensi makan dalam sehari;
10. jumlah stel pakaian baru yang dibeli dalam setahun;
11. akses ke puskesmas/poliklinik;
12. akses ke lapangan pekerjaan;
13. pendidikan terakhir kepala rumah tangga; dan
14. kepemilikan beberapa aset.
Dalam PSE05, sebuah rumah tangga dikatakan miskin apabila:
1. luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per orang;
2. lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan;
3. dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah
atau tembok tanpa diplester;
4. tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama rumah tangga lain menggunakan
satu jamban;
5. sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik;
6. air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan;
7. bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah;
8. hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu;
9. hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun;
10. hanya mampu makan satu/dua kali dalam sehari;
11. tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik;
12. sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh
tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan;
13. pendidikan terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar
(SD)/hanya SD; dan
14. tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp500.000 seperti sepeda motor (kredit/nonkredit), emas, hewan ternak, kapal motor ataupun barang modal lainnya.
Dengan menggunakan kriteria tersebut BPS mendatangi kantong-kantong kemiskinan untuk memperoleh informasi dari ketua satuan lingkungan setempat, seperti ketua RT ataupun kepala dusun, tentang rumah tangga yang betul-betul miskin. Berdasarkan informasi itu, BPS mendatangi dan mewawancarai kepala atau anggota rumah tangga tersebut secara lebih terperinci.
Hasil pendataan rumah tangga miskin kemudian ditentukan skornya 1 atau 0. Skor 1 menunjukkan variabel yang mengidentifikasi rumah tangga miskin, skor 0 menunjukkan variabel yang mengidentifikasi rumah tangga tidak miskin. Semakin banyak skor 1 yang dimiliki sebuah rumah tangga, semakin miskin rumah tangga tersebut. Meskipun demikian, indikasi rumah tangga miskin satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya sehingga diperlukan pembobotan sebagai penimbang dalam penghitungan rumah tangga miskin. Dari pembobotan tersebut kemudian dihitung nilai indeks untuk memperoleh kategori keparahan kemiskinan suatu rumah tangga yang dibedakan menjadi rumah tangga sangat miskin, rumah tangga miskin, rumah tangga mendekati miskin, dan rumah tangga tidak miskin.
2.2 Kriteria Pengukuran Kemiskinan BPS Pada PPLS 2008
Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya mengurangi jumlah dan tingkat kemiskinan melalui berbagai program. Dalam hal sasaran program, pemerintah memperbarui sasaran programnya ─misalnya untuk Program BLT─ dengan memperbarui datanya. Pada tahun 2008, pemerintah melalui BPS memperbarui data penerima program dengan melakukan pemutakhiran data PSE05 dan dinamai Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008. Pemutakhiran data ini dilakukan pada Oktober 2008 dan dimaksudkan agar manfaat Program BLT menjangkau kalangan yang lebih luas, yaitu rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, pendataan PPLS 2008 tidak hanya menjaring rumah tangga sangat miskin dan miskin sebagaimana dalam PSE05, tetapi juga rumah tangga yang mendekati miskin.
Pemutakhiran data PSE05 dalam PPLS 2008 menggunakan pendekatan karakteristik rumah tangga dengan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan, yaitu:
1. luas lantai per kapita,
2. jenis lantai,
3. jenis dinding,
4. fasilitas buang air besar,
5. sumber air minum,
6. sumber penerangan,
7. bahan bakar,
8. pembelian daging/ayam/susu,
9. frekuensi makan,
10. pembelian pakaian baru,
11. kemampuan berobat,
12. lapangan usaha kepala rumah tangga,
13. pendidikan kepala rumah tangga, dan
14. aset yang dimiliki.
Sumber : The SMERU Research Institute