BANTAENG - Pemerintah menerapkan ujicoba kebijakan plastik berbayar mulai tanggal 21 Februari- Juni 2016 di 23 kota. Kebijakan ini didasari keinginan untuk mengurangi jumlah sampah plastik di Indonesia dengan merubah perilaku penggunaan kantong plastik. Masyarakat diminta untuk “diet plastik”. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bahkan ada yang mengatakan bahwa pemerintah telah zalim dengan menarik bayaran untuk kantong plastik minimarket yang lebih mudah terurai daripada plastik-plastik yang digunakan untuk membungkus produk yang dijual produsen. Apakah sudah ada kebijakan tentang penggunaan plastik oleh produsen? Kenapa masyarakat yang disuruh “diet” dan disuruh bayar?
Pasal 15 UU No. 18/2008 menyebutkan bahwa: Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Artinya produsen bertanggung jawab terhadap sampah yang dia buat dari sejak produksi, dikonsumsi oleh masyarakat, sampai dengan proses pemusnahan di tempat pembuangan akhir. Hal ini sejalan dengan prinsip extended producer responsibility (EPR) yang mengatakan bahwa dunia industri selaku produsen berbagai produk penghasil sampah bertanggung jawab atas biaya-biaya lingkungan yang diakibatkan oleh produk yang dihasilkannya hingga tidak dapat digunakan lagi (end of life cycle dari produk). Perusahaan yang menjual dan/atau mengimpor produk dan kemasan yang berpotensi menghasilkan sampah wajib bertanggungjawab, baik secara finansial maupun fisik, terhadap produk dan/atau kemasan yang masa pakainya telah usai.
Untuk memenuhi prinsip EPR, umumnya produsen telah memasukkan biaya-biaya terkait lingkungan sebagai komponen harga pasar dari barang yang dia jual. Artinya, konsumen telah dibebankan dengan biaya tersebut. Bahkan lebih jauh, untuk mendorong industri menerapkan prinsip EPR, pemerintah telah menyiapkan beberapa skema seperti memberikan insentif pemotongan pajak untuk perusahaan yang “patuh” atau memberi sanksi administratif dan finansial untuk yang tidak menerapkan prinsip EPR. Pertanyaannya, apakah ini sudah terjadi? Sepertinya sosialisasi dan pelaksanaan kebiajakan ini belum banyak sampai ke masyarakat.
Saya sepakat bahwa di hilir masyarakat harus mulai “diet plastik”, tetapi pemerintah perlu memberi penjelasan lebih rinci kepada masyarakat, kenapa harus diet plastik, manfaat apa yang konsumen dapat dengan diet plastik, kemana uang Rp. 200 yang dibayarkan, bagaimana cara masyarakat mengganti kebiasaan pemanfaatan plastik misalnya menggunakan kantong plastik sebagai tempat sampah sebelum diambil oleh tukang sampah, atau memastikan toko menyediakan pengganti kantong plastik misalnya dus karton untuk membawa belanjaan atau meminta masyarakat membawa tas belanjaan. Banyak instrumen dan fasilitas perlu disiapkan, termasuk metode pengawasan terhadap produksi dan transportasi sampah, memastikan adanya pengambilan sampah secara regular, maupun perbaikan dan perluasan tempat pembuangan akhir.
Saya sepakat bahwa peningkatan kesadaran masyarakat tentang penggunaan plastik perlu dilakukan secepatnya, namun hal yang lebih penting adalah memastikan adanya penanganan serius di hulu, di tingkat produsen. Kenapa tidak meminta perusahaan mengganti bungkus plastik dengan produk yang lebih mudah terurai? Kenapa tidak membatasi penggunaan plastik untuk produksi? banyak kenapa di dalam pikiran saya selaku pengguna kantong plastik. Semoga pemerintah dapat meningkatkan upaya untuk menjawab “kenapa” yang ada di pikiran saya maupun mungkin masyarakat yang lain.
Oleh: Rahmi Yetri Kasri
Kontributor IPEHIJAU, konsultan di salah satu lembaga donor internasional, saat ini sedang mengambil studi S3 Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia
Sumber : ipehijau.org
Sumber : ipehijau.org
Siapa Bertanggung Jawab Terhadap Sampah (plastik), Konsumen atau Produsen?
4/
5
Oleh
Syam Story
Silakan tinggalkan komentar yang santun