Biasakan Gunakan Istilah Disabilitas Bukan Cacat atau Tuna
cacat Disabilitas penyandang disabilitas tuna uu nomor 8 tahun 2016Hal ini penting dipahami oleh para kelompok kerja (pokja) relawan pendataan SDGs Desa agar dalam pelaksanaan pendataan di lapangan dapat menjaga perasaan warga responden yang memiliki keterbatasan atau berkebutuhan khusus.
Istilah Penyandang Cacat secara perlahan mulai ditinggalkan untuk menyebut seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik maupun mental.
Sebelum pemerintah mengesahkan UU Nomor 8 Tahun 2016, Indonesia menggunakan istilah Cacat atau Ketunaan bagi individu yang memiliki keterbatasan. Kini aturan telah berubah dengan penyebutan lebih humanis, sebutan penyandang Cacat berubah menjadi penyandang Disabilitas serta informasi terkait dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tersebut.
Pada saat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mulai berlaku, maka UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ada dua istilah yang selama ini digunakan untuk menggantikan Penyandang Cacat yang cenderung kasar bahkan merendahkan bagi penderitanya, yaitu Disabilitas dan Difabel. Tapi, kedua istilah tersebut jelas memiliki perbedaan satu sama lain.
Disabilitas berasal dari kata disability atau disabilities yang diartikan ketidakmampuan. Sedangkan difabel berasal dari kata different ability atau kemampuan yang berbeda.
Jika berada dalam konteks kaidah bahasa atau keilmuan, istilah Disabilitas lebih tepat digunakan. Tapi, jika dalam konteks kehidupan sosial atau keseharian, istilah Difabel lebih tepat digunakan karena lebih halus dan humanis.
Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan sebanyak sembilan kebijakan sebagai peraturan turunan dalam melaksanakan amanat UU Nomor 8 Tahun 2016, yaitu:
1. PP Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas;
2. PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;
3. PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
4. PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan;
5. PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas;
6. PP Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas bidang Ketenagakerjaan;
7. Perpres Nomor 67 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;
8. Perpres Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas; dan
9. Ratifikasi Perjanjian Internasional yang diatur dalam Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengesahan Traktat Marrakesh untuk Fasilitasi Akses atas Ciptaan yang Dipublikasi bagi Penyandang Disabilitas Netra, Gangguan Penglihatan, atau Disabilitas dalam Membaca Karya Cetak.
Lalu bagaimana penamaan yang tepat untuk menghormati penyandang disabilitas? Sebagai contoh pada Penyandang Disabilitas sensorik atau terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disebut disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.
Hak bebas dari stigma untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya.